Kau dan aku bertemu ketika kita masih sama-sama muda dan lugu.
Awal kedekatanmu dan aku pun begitu sederhana: ada rasa nyaman saat kita berbicara dan begitu menyenangkan saat kita saling melempar canda. Jiwa kita tumbuh bersama, menyaksikan satu sama lain mendewasa. Aku sempat begitu percaya pada “kita”. Bagiku,aku dan kamu adalah dua orang yang saling mengimbangi dan melengkapi. Karaktermu yang sedikit cuek kutimpali dengan sifatku yang lebih perhatian. Ketika Aku malas pergi ke luar kamar untuk mencari makan, Kau tak ragu datang dengan sebungkus nasi Padang di tangan. Ketika kau kehilangan semangat untuk bekerja, aku menawarkan diri menjadi partner diskusi. Senang rasanya melihatmu tersenyum dan berkata, “Hei, Aku Berhasil.”Begitu juga sebaliknya. Sifatku yang mudah gelisah kau redam dengan pribadimu yang tenang. Kau bilang, jangan takut gagal, karena tugasku hanya berusaha sebaik-baiknya. Kau pun berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dekapanmu yang hangat dan erat membuatku percaya.Tentu ada saat di mana kita bersilang pendapat. Tapi pernahkah aku terpikir untuk meninggalkanmu karena opini kita tak bertitik temu? Tidak. Bukankah selama ini kita berusaha menyelesaikan segala masalah yang ada secara dewasa?Tapi sejak Aku Tau Ada kebohongan.Sepanjang sisa pertemuan aku berusaha terlihat tenang, tak sudi memperlihatkan air mata. Baru saat kembali ke kamar sendirian aku menangis tanpa jeda.
Esok paginya dan pada beberapa pagi setelahnya aku bangun dengan bengkak di kedua mata dan nyeri hebat di kepala.Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau istimewa.
Bagaimanapun, kita pernah bahagia.
Pertanyaan itu yang berputar di kepalaku di hari-hari pertama setelah Itu. Memang akulah pihak yang diKecewakan.Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Kau tak akan pernah tahu apa yang kurasakan; bagaimana aku berusaha bertahan.
Mendengarnya saja membuatku harus mengingatkan diri untuk tenang dan mengambil napas dalam-dalam.
Melintasi tempat-tempat yang dulu punya makna untuk kita,memegang barang-barang yang pernah menjadikan hidupku lebih berwarna,hubungan yang kita jalani terlalu panjang untuk tak menyisakan memori.
Pernahkah kau mengira bahwa aku akan jatuh sedalam ini?“Proses penyembuhan” ku berlangsung pelan-pelan. Tak seperti dirimu, aku memang tak bisa langsung memasang wajah tak peduli dan menjalani hari seolah tak ada apa-apa yang terjadi.
Di hari-hari pertama setelah Itu Terjadi,aku kerap tenggelam dalam luapan emosi yang tiba-tiba datang.
Teman yang membantuku bertahan.
Mereka meyakinkanku,hidup adalah lebih dari apa yang pernah kumiliki denganmu.
Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima.Meyakini bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik didepan sana.
Aku berhenti mengasihani diri sendiri, berhenti menyalahkanmu, menyalahkan aku, menyalahkan keadaan.Pelan tapi pasti, aku memaafkan apa yang terjadi.Memahami itu semua membuatku lebih dewasa. Aku yang dulu pencemas dan takut gagal kini lebih mudah berserah dan bersabar. Aku yang dulu takut sendirian kini sadar tak ada yang sebenarnya perlu dikhawatirkan. Cukuplah aku bahagia dengan apa yang sekarang ini aku punya.
Awal kedekatanmu dan aku pun begitu sederhana: ada rasa nyaman saat kita berbicara dan begitu menyenangkan saat kita saling melempar canda. Jiwa kita tumbuh bersama, menyaksikan satu sama lain mendewasa. Aku sempat begitu percaya pada “kita”. Bagiku,aku dan kamu adalah dua orang yang saling mengimbangi dan melengkapi. Karaktermu yang sedikit cuek kutimpali dengan sifatku yang lebih perhatian. Ketika Aku malas pergi ke luar kamar untuk mencari makan, Kau tak ragu datang dengan sebungkus nasi Padang di tangan. Ketika kau kehilangan semangat untuk bekerja, aku menawarkan diri menjadi partner diskusi. Senang rasanya melihatmu tersenyum dan berkata, “Hei, Aku Berhasil.”Begitu juga sebaliknya. Sifatku yang mudah gelisah kau redam dengan pribadimu yang tenang. Kau bilang, jangan takut gagal, karena tugasku hanya berusaha sebaik-baiknya. Kau pun berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dekapanmu yang hangat dan erat membuatku percaya.Tentu ada saat di mana kita bersilang pendapat. Tapi pernahkah aku terpikir untuk meninggalkanmu karena opini kita tak bertitik temu? Tidak. Bukankah selama ini kita berusaha menyelesaikan segala masalah yang ada secara dewasa?Tapi sejak Aku Tau Ada kebohongan.Sepanjang sisa pertemuan aku berusaha terlihat tenang, tak sudi memperlihatkan air mata. Baru saat kembali ke kamar sendirian aku menangis tanpa jeda.
Esok paginya dan pada beberapa pagi setelahnya aku bangun dengan bengkak di kedua mata dan nyeri hebat di kepala.Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau istimewa.
Bagaimanapun, kita pernah bahagia.
Pertanyaan itu yang berputar di kepalaku di hari-hari pertama setelah Itu. Memang akulah pihak yang diKecewakan.Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Kau tak akan pernah tahu apa yang kurasakan; bagaimana aku berusaha bertahan.
Mendengarnya saja membuatku harus mengingatkan diri untuk tenang dan mengambil napas dalam-dalam.
Melintasi tempat-tempat yang dulu punya makna untuk kita,memegang barang-barang yang pernah menjadikan hidupku lebih berwarna,hubungan yang kita jalani terlalu panjang untuk tak menyisakan memori.
Pernahkah kau mengira bahwa aku akan jatuh sedalam ini?“Proses penyembuhan” ku berlangsung pelan-pelan. Tak seperti dirimu, aku memang tak bisa langsung memasang wajah tak peduli dan menjalani hari seolah tak ada apa-apa yang terjadi.
Di hari-hari pertama setelah Itu Terjadi,aku kerap tenggelam dalam luapan emosi yang tiba-tiba datang.
Teman yang membantuku bertahan.
Mereka meyakinkanku,hidup adalah lebih dari apa yang pernah kumiliki denganmu.
Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima.Meyakini bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik didepan sana.
Aku berhenti mengasihani diri sendiri, berhenti menyalahkanmu, menyalahkan aku, menyalahkan keadaan.Pelan tapi pasti, aku memaafkan apa yang terjadi.Memahami itu semua membuatku lebih dewasa. Aku yang dulu pencemas dan takut gagal kini lebih mudah berserah dan bersabar. Aku yang dulu takut sendirian kini sadar tak ada yang sebenarnya perlu dikhawatirkan. Cukuplah aku bahagia dengan apa yang sekarang ini aku punya.
No comments:
Post a Comment