My World

My World

Monday, June 8, 2015

Kau pemeran utama yang kubutuhkan untuk mengakhiri dongeng

Menjatuhkan hati pada seseorang yang kita kenal sejak lama, bukanlah suatu hal yang tak biasa. Sering kali ketika dua orang berbeda gender menjalin pertemanan hingga bertahun-tahun lamanya, salah satu pasti ada yang memendam rasa. Dan seringnya, ketika sudah jatuh cinta, rasa itu hanya terpendam dan takut untuk diungkapkan. Alasannya tak pernah jauh berbeda.
Ini adalah coretan tentang masa lalu yang tak pernah lekang oleh waktu.
Tentang seorang gadis yang pernah bercerita tentang indahnya cinta di masa depan. Bagaimana jika apa yang menjadi keinginan di masa depannya justru adalah yang ia kenal di masa lalu?
Berungkap cinta, atau memendam rasa hingga semua berjalan apa adanya? Seperti sinar surya yang terbit dari cakrawala timur, kau hadir menghangatkan hatiku yang beku. Memberi terang pada hidupku yang abu-abu. Bukankah kala itu bahagia sedang berpihak pada kita?Tawa yang mendengung keras di tengah gersangnya lahan tandus sekolah, memberi sekian juta memori yang sulit kulupakan, karena alam pun tahu, kitalah dua insan yang paling berbahagia dengan cara kita masing-masing.

Kehadiranmu membawa bahagia bagi hidupku. Mengetahui namamu, seperti mengetahui cinta telah datang di ambang pintu hatiku yang mulai terbuka untukmu.

Ketika aku asyik bermain di bawah terik matahari, berlari ke sana-sini, mencari tahu apapun yang selalu aku ingin tahu di alam yang indah ini, kau justru membeku di balik selimut tebalmu sembari menggerakkan tanganmu, membolak-balik halaman pada bukumu.
Mungkin saat itu, di matamu aku hanya gadis yang terlalu banyak membuang waktu untuk melebarkan tawaku, berteriak tak jelas hingga ruangan kelas itu penuh dengan dengunganku. Namun percayakah, setiap inci gerakan yang kau kira konyol itu, tak sedetikpun aku menyia-nyiakan mataku untuk berlabuh pada mata teduhmu. Memuji segala tindak Sepurnamu.

Cause all of me, loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections.

Kala itu hujan memberi kejutan bagi kita. Dalam sekejap, tak ada yang berlarian mengelilingi lahan tandus sekolah itu lagi, atau sekadar berlari kencang demi mengantri di depan warung bubur di kantin sekolah. Orang itu aku, sedang berdiri kaku sembari menadahkan danau tanganku—merasakan dingin dari tetesan air hujan itu.
Kepada yang lainnya, aku bercerita tentang masa depan. Tentang cinta yang saat itu mulai tabu diperbincangkan. Yang kami tahu, cinta itu menyejukkan, seperti tetesan hujan ini. Namun pada kenyataannya, cinta itu indah namun menyesakkan.
Melihatmu tertawa, membuatku merasakan cinta yang dalam. Mengenalmu membuatku tahu tentang indahnya perbedaan. Namun mengetahui perasaan ini hanya dapat tertutup dalam-dalam, membuatku sulit terbiasa seperti sedia kala.Mengapa harus padamu kurasakan jatuh cinta? Mengapa ketika sudah terlalu dalam, aku hanya bisa diam memendam rasa?.Mungkin cinta tak sedang memihakku kala itu. Kini, memiliki waktu untuk sekadar berbincang denganmu menjadi harga yang mahal untuk kudapatkan. Sebagai anak kecil yang haus perhatian, aku tahu rasanya terlupakan.
Aku menghitung waktu untuk kau mengatakan sesuatu barang hal tak penting sekalipun, namun kau malah asik bercengkerama dan tertawa lepas bersamanya yang katamu ayu itu. Kau mengaguminya karena parasnya, namun aku mengagumimu atas segala baik-burukmu.
Apapun itu, meski buruk bagimu adalah yang perlu untuk kucintai. Aku menyukai segala yang tertanam di dirimu, namun aku mulai benci jika rasa itu harus kaualihkan ke lain arah—mengempas yang jauh lebih dulu ada.
Lonceng kelulusan kita telah berbunyi. Aku melihat binar bahagia atas keberhasilanmu menjadi sosok yang selalu sempurna di mataku. Apakah artinya perpisahan telah begitu dekat dengan kita? Tak inginkah sejenak kau duduk di sampingku, kemudian menyediakan sepuluh detik waktumu untuk mendengar dongeng masa depanku?

Bukan sebentar bila bertahun-tahun lamanya kulalui tanpa mengetahui kabarmu. Katakan padaku, berapa mil jarak telah memisahkan kita? Mengharuskanku untuk kembali mengingat kenangan-kenangan kecil kita di ruang sekolah itu.
Sepatah kata darimu terlalu berarti untuk tak kusimpan dalam hati.
Mengapa skenario yang kita mainkan tidak pernah selesai?
Mungkin jika Tuhan mengizinkanku untuk bertemu denganmu, tak inginkah sekali lagi kau duduk di sampingku kemudian bertanya kabarku? Aku tak meminta kau bertanya bagaimana akhir kisah tentang dongeng masa depanku.
Kuyakin kau telah menyimpan skenario lain yang perlu kaumainkan bersama lawan mainmu yang baru — dan kutahu itu bukan aku.


Kau yang kuinginkan atas dongeng masa depan itu.
Kau pemeran utama yang kubutuhkan untuk mengakhiri dongeng agar bahagia seperti apa yang kumau.


Wednesday, June 3, 2015

Tak mudah menaruh percaya, ketakutan lebih sering muncul meminta porsinya untuk dirasa.

Hati yang kupunya dan selalu kujaga ini pernah koyak bentuknya. Meninggalkan perih yang teramat sangat, banyak kecewa, marah yang melimpah dan juga gurat luka yang cukup dalam ukurannya. Walau sesungguhnya aku tahu benar, masih ada serpih-serpih cinta yang tertinggal di sana. Namun, bukankah sikapku untuk mendiamkanmu tak bisa disalahkan begitu saja?
Sejujurnya, sekarang ini aku sedang berusaha menyusun balok-balok percaya yang sempat kau runtuhkan kemarin lusa. Supaya jika nantinya hubungan ini kembali ada, pondasi kokoh sudah siap untuk menopang kita berdua. Semoga kau pun sekarang tengah berusaha sekuat raga. Untuk meyakinkanku demi mendapatkan kembali hatiku dalam bentuknya yang utuh sempurna.
Senyap memenuhi penjuru ruangan, meninggalkanmu dan aku yang menggigil dalam keheningan. Tak ada kata-kata yang bisa kulontarkan dari bibirku yang sedang sibuk mengatup dengan kencang. Kau yang biasanya punya banyak kata untuk membuatku tertawa, kini hanya bisa berdiri diam di pojok sana. Menatapku dengan tatapan tak berdaya yang sesekali diisi dengan gerak tubuhmu yang beringsut mendekat. Namun tentu saja percuma, karena tingkah lakumu tak berhasil mendapatkan perhatianku dengan genap.
Aku saat itu sedang sibuk sendiri memutar ulang kata-kata yang baru saja kau lontarkan. Meresapi kalimatmu yang sebenarnya sungguh tak enak untuk didengar. Bukan kalimat yang biasanya selalu membuat hatiku melonjak kegirangan, kali itu kau persembahkan sebuah pengakuan yang membuat hatiku kehilangan kemampuannya untuk merasakan.
Kemudian, benci dan marah tanpa diminta memberikanku tenaga. Cukup kuat untuk memberikan dorongan kepada tangan demi menciptakan sebuah tamparan. Namun, niatku itu kuurungkan. Percuma, pikirku, hanya membuang tenaga saja. Toh, pedas yang kau rasakan di pipi yang meradang tak sebanding dengan hatiku yang tengah berantakan. Ya, tentu saja aku sedang hancur sehancurnya. Coba katakan padaku, gadis mana yang tak remuk ketika mendengar pengakuan mengenai perselingkuhan yang pernah lelaki istimewanya lakukan?
Ragam rasa sempat membuatku tak bisa tenang, mereka berlomba memenuhi hatiku dan membuatnya kian gaduh. Sakit hati tentulah yang menjerit-jerit pertama kali, disusul dengan marah yang menghentak-hentak, lalu kecewa yang masuk dengan tergesa, juga benci yang turut datang belakangan, membuat suasana makin ribut. Kini, ruangan di rongga hatiku kian sesak dan pengap.
Namun, sesungguhnya di balik kegaduhan dan hingar bingar mereka, aku menyadari betul bahwa cinta masih duduk manis di kursinya, sama seperti semula. Dia tak pernah bergeser maupun berniat untuk pergi berjingkat meninggalkan keramaian. Dia selalu tepekur disana, sendirian menunggu tanpa banyak cakap. Memang pernah dia berniat untuk angkat kaki, namun kemudian niatnya itu diurungkannya kembali. Ia merasa tak tega jika jalinan yang sudah bertahan sangat lama ini harus dienyahkan begitu saja.
Walau cinta selalu ada, namun tetap saja kehadirannya tak membuat suasana menjadi lebih istimewa. Selalu ada si sakit hati yang menduduki peringkat teratas. Dia sedang ingin menjadi sorotan dan tak ingin diacuhkan maupun diduakan. Itulah alasan utamaku mengapa tak mengijinkanmu masuk dulu.
Ketakutan dan kecemasan turut bersua setelah kehiruk pikukan mereda. Kini merekalah yang setia menemani hari-hariku setelah benci dan marah pergi. Mereka berdua selalu membuatku merasa waspada, untuk tak mudah menaruh lagi percaya. Terlebih kepada sosokmu yang sebelumnya pernah mengguratkan kecewa.
Sebenarnya aku ingin membuka hati kembali. Namun, ketakutan selalu beringsut mendekat. Disusul dengan buruk sangka yang juga ikut melekat. Cemas kalau-kalau kau melakukan kesalahan serupa. Mengoyak lagi cinta yang ada dan membaginya menjadi dua, satu untukku dan satu untuk wanita lainnya.
Tapi jika boleh jujur, aku pun tak berniat meninggalkanmu. Tak sampai hati jika harus melepas kenangan berdua. Enggan rasanya jika harus menitipkan hatiku kepada manusia lainnya. Memulai lagi jalinan yang baru dan memberikan cinta kepada orang yang berbeda.
Meski begitu, bukan berarti aku telah siap untuk menerimamu kembali. Cinta dan sayang yang ada tak cukup kuat untuk membuatku mampu membuka diri.Demi menyembuhkan hati sembari menunggu rasa percaya semoga segera datang lagi.
Memang manusia tak ada yang sempurna, selalu ada salah yang akan tercipta dari tindak tanduk mereka. Itulah yang selama ini kujadikan sandaran supaya bisa memaafkanmu dengan segera. Jangan kau pikir saat ini aku hanya sedang menyibukkan diri. Aku pun sekarang sedang berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan sakit hati yang ada. Merangkai kembali asa mengenai masa depan berdua. Juga mencari rasa percaya yang sedang pergi entah kemana.

"Semoga kau pun juga sama, tak menyerah berusaha demi meyakinkanku kembali. Dan terlebih lagi, hatiku ini memang sedang menunggu untuk lebih diperjuangkan lagi"