Selalu ada satu chapter dalam
perjalanan hati yang membuat kita merenung lama dan bertanya.
Biasanya perjalanan ini melibatkan kejatuhan yang amat sangat, porsi percaya akan masa depan yang besar, kemudian diakhiri dengan sakit hati yang meremukkan dan membuat kita lupa akan arti kata tegar.
Cinta yang sejatuh-jatuhnya, cinta yang membuta kita amnesia terhadap perasaan bahagia: cinta yang membentuk kita jadi manusia dewasa.
Sampai detik ini aku jelas tidak mengharapkannya kembali.
Jalan hidup kita memang sudah tidak bersisian lagi. Namun cinta macam ini tetap saja meninggalkan ganjalan dalam hati. Kita sama-sama pergi, tanpa pernah ada ikrar untuk mengakhiri. Tidak mudah memahami kenapa ada beberapa cinta yang tak pernah bisa selesai. Tapi hidup terus berjalan, dan satu-satunya pilihan yang tersisa adalah berdamai.
Ada rasa ingin protes kenapa perasaan ini mesti dipertemukan dengan kata ‘hampir’.
Meski sudah sakit berkali-kali ketiadaan stempel tamat membuatmu sulit menyingkir.
Setiap kali orang bertanya tentang hubungan kita (dalam konteks lampau, tentunya) selalu tertangkap perubahan mimik di wajahku yang berusaha tampak biasa. Senyum di wajahku tetap ada, namun sinar di mataku hilang sementara. Pembicaraan tentang dia selalu membawa pikiranku ke kilas balik panjang yang membuka kembali lubang di dada.
Dia adalah kehampiran yang membuatku terus bertanya.
Kita pernah hampir bahagia. Hampir membangun masa depan bersama. Hampir menjadi tempat pulang yang nyaman di akhir hari panjang. Kita hampir menyelesaikan satu chapter yang menasbihkan diri sebagai orang dewasa. Sayang, perjalanan ini tidak pernah mencapai titik tamatnya.
Gabungan kecewa, sakit, buramnya masa depan, sampai usaha menjaga perasaan orang
orang sekitar membuatku memilih pergi dalam diam.
Dia pun lebih memilih mendekapmu erat dalam bungkam. Kita berpisah. Dalam sepi. Namun tetap lebam.
Seandainya dulu kita duduk dan bicara empat mata sebelum mengakhiri ke-kita-an yang dipunya.
Seandainya aku sempat mengeluarkan semua ganjalan dan kekecewaan yang tersimpan dalam dada.
Seandainya dia sempat punya kesempatan menjelaskan semua tindakan yang membuatku sakit berkepanjangan, mungkinkah langkahku saat ini terasa lebih ringan?
Rasionalnya, keikhlasan jelas lebih mudah datang setelah semua masalah menemui jalan terang. Kerelaan melepas ikatan tak perlu susah didatangkan jika semua intrik diselesaikan, dirunut sumbernya dalam satu rentang.
Tapi tidak dalam kisahku ini. Pertanyaan “Kenapa?”; “Kok Bisa?” tidak lagi bijak ditanyakan. Bahkan sesederhana kata, “Sudah ya diikhlaskan.” tidak lagi punya taji untuk muncul di hadapan.
Biasanya perjalanan ini melibatkan kejatuhan yang amat sangat, porsi percaya akan masa depan yang besar, kemudian diakhiri dengan sakit hati yang meremukkan dan membuat kita lupa akan arti kata tegar.
Cinta yang sejatuh-jatuhnya, cinta yang membuta kita amnesia terhadap perasaan bahagia: cinta yang membentuk kita jadi manusia dewasa.
Sampai detik ini aku jelas tidak mengharapkannya kembali.
Jalan hidup kita memang sudah tidak bersisian lagi. Namun cinta macam ini tetap saja meninggalkan ganjalan dalam hati. Kita sama-sama pergi, tanpa pernah ada ikrar untuk mengakhiri. Tidak mudah memahami kenapa ada beberapa cinta yang tak pernah bisa selesai. Tapi hidup terus berjalan, dan satu-satunya pilihan yang tersisa adalah berdamai.
Ada rasa ingin protes kenapa perasaan ini mesti dipertemukan dengan kata ‘hampir’.
Meski sudah sakit berkali-kali ketiadaan stempel tamat membuatmu sulit menyingkir.
Setiap kali orang bertanya tentang hubungan kita (dalam konteks lampau, tentunya) selalu tertangkap perubahan mimik di wajahku yang berusaha tampak biasa. Senyum di wajahku tetap ada, namun sinar di mataku hilang sementara. Pembicaraan tentang dia selalu membawa pikiranku ke kilas balik panjang yang membuka kembali lubang di dada.
Dia adalah kehampiran yang membuatku terus bertanya.
Kita pernah hampir bahagia. Hampir membangun masa depan bersama. Hampir menjadi tempat pulang yang nyaman di akhir hari panjang. Kita hampir menyelesaikan satu chapter yang menasbihkan diri sebagai orang dewasa. Sayang, perjalanan ini tidak pernah mencapai titik tamatnya.
Gabungan kecewa, sakit, buramnya masa depan, sampai usaha menjaga perasaan orang
orang sekitar membuatku memilih pergi dalam diam.
Dia pun lebih memilih mendekapmu erat dalam bungkam. Kita berpisah. Dalam sepi. Namun tetap lebam.
Seandainya dulu kita duduk dan bicara empat mata sebelum mengakhiri ke-kita-an yang dipunya.
Seandainya aku sempat mengeluarkan semua ganjalan dan kekecewaan yang tersimpan dalam dada.
Seandainya dia sempat punya kesempatan menjelaskan semua tindakan yang membuatku sakit berkepanjangan, mungkinkah langkahku saat ini terasa lebih ringan?
Rasionalnya, keikhlasan jelas lebih mudah datang setelah semua masalah menemui jalan terang. Kerelaan melepas ikatan tak perlu susah didatangkan jika semua intrik diselesaikan, dirunut sumbernya dalam satu rentang.
Tapi tidak dalam kisahku ini. Pertanyaan “Kenapa?”; “Kok Bisa?” tidak lagi bijak ditanyakan. Bahkan sesederhana kata, “Sudah ya diikhlaskan.” tidak lagi punya taji untuk muncul di hadapan.
Kali ini kita belajar satu hal besar. Hubungan yang dimulai dengan
baik-baik ternyata tidak selalu berakhir dengan sama manisnya. Barangkali
inilah seninya jadi orang dewasa.
Beberapa cinta memang tidak hadir untuk menemui kata selesai. Barangkali ini cara Tuhan Menguji dan mengajari kita kata ‘Damai’ Seperti cokelat yang bisa dibagi ke 2 bagian dengan mudah, ikatan yang tak pernah selesai memang segampang itu mencipta payah.
Ikatan yang menggantung jelas tak nyaman. Belum lagi kalau tak semudah itu mengusir kuatnya perasaan. Aku mesti berdamai dengan berbagai pertanyaan, membiarkan diri sendiri tenggelam sementara dalam kegalauan. Sebelum bisa kembali bangkit dan berjalan.
Beberapa cinta memang tidak hadir untuk menemui kata selesai. Barangkali ini cara Tuhan Menguji dan mengajari kita kata ‘Damai’ Seperti cokelat yang bisa dibagi ke 2 bagian dengan mudah, ikatan yang tak pernah selesai memang segampang itu mencipta payah.
Ikatan yang menggantung jelas tak nyaman. Belum lagi kalau tak semudah itu mengusir kuatnya perasaan. Aku mesti berdamai dengan berbagai pertanyaan, membiarkan diri sendiri tenggelam sementara dalam kegalauan. Sebelum bisa kembali bangkit dan berjalan.
Tapi bukankah hidup dan perasaan bukan rel kereta yang selalu ada ujungnya?
Termasuk juga dalam urusan cinta. Beberapa cinta yang tak selesai barangkali
jadi cara Tuhan untuk mengajari kita.
Ada beberapa perasaan yang memang tak pernah
tamat. Berdamai dengannya jadi satu-satunya cara agar kamu tetap jadi pejuang
yang terhormat.

